Anak Cenderung Lebih Sering Dijadikan Objek Penelitian

Anak kerap sekali dijadikan sebagai objek penelitian. Mengapa? Temukan jawabannya disini.
Ayah dan Anak

Baru-baru ini, terpintas dipikiran Saya tentang "Mengapa anak selalu dijadikan sebagai objek penelitian?". Itu memang sangat berguna bagi kita. Melihat banyaknya hasil-hasil riset tentang Anak, tentu saja menjadi bahan kajian dan pembelajaran bagi kita selaku orangtua.

Tetapi dalam kesempatan ini, Saya hanya berbicara tentang "anak" dari sisi keluarga, melainkan ia juga dipandang sebagai siswa, peserta didik, atau sebagainya. Sedang orangtua, tidak terbatas pada Ayah atau Ibu, juga termasuk pada persoalan Guru. Mari kita lihat, mengapa pertanyaan ini perlu diulas.

Pendidikan Perlu Berkelanjutan

Tentu saja, pendidikan yakni proses transformasi ilmu, semestinya dilangsungkan berkelanjutan. Setiap anak, memiliki fitrahnya, dan pengajaran terhadap mereka perlu senantiasa disesuaikan dengan usia mereka. Saya sepakat untuk itu.

Tetapi, sepanjang perjalanan karir, Saya cenderung lebih banyak melihat naskah-naskah publikasi hasil penelitian yang mana objeknya adalah anak/ siswa.

Tidak ada yang salah dengan ini. Bila kita seorang Guru, maka akan menambah wawasan kita tentang bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran kita di dalam kelas. Bila kita sebagai orangtua, setidaknya kita mengetahui tentang bagaimana memperlakukan anak kita di rumah.

Tetapi, bagaimana dengan kita, selaku Guru atau Orangtua?

Introspeksi Diri Benar-Benar Sulit

Pernahkah kita berpikir, mengapa kita tidak meneliti tentang diri kita sendiri? Maksudnya, bukan secara pribadi, melainkan posisi kita (apakah sebagai orangtua, atau Guru). Pernahkah kita berupaya memperkaya diri, dengan mendalami riset berkenaan tentang itu?

Saya mencoba menelusuri naskah-naskah penelitian, dimana seorang Guru, meneliti Guru lainnya, dan itu terbatas. Sebaliknya, bilamana penelitian itu berobjek pada siswa, cenderung lebih banyak ditemukan.

Saya berpikir tentang hal yang sederhana, dimana kita selaku Guru atau orangtua, MARAH kepada anak kita. Pertanyaannya, siapa yang salah? Kita selaku orangtua yang tidak mengerti akan perkembangan anak kita, atau justru anak yang salah?

Memang, itu semua kembali pada kasus masing-masing. Tapi, Saya ingin mengajak Anda untuk merenung dalam kaitan introspeksi diri.

Misalnya begini. Kita sebagai orangtua mungkin tahu, bahwa tidur larut malam adalah buruk bagi anak. Sebagai orangtua yang baik, mungkin kita akan memaksa anak untuk tidur sesuai jam yang dianjurkan.

Apa yang terjadi, ketika itu tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan? Anak tidak juga tertidur di waktu itu. Kita mungkin lebih cepat untuk MARAH. Lebih buruk lagi, mungkin kita beranggapan bahwa anak kita sudah tidak penurut, membandel, dan sebagainya.

Kita sudah tahu, bahwa menampilkan amarah yang berlebihan, justru berdampak buruk bagi Anak, karena kehidupan mereka didominasi oleh meniru.

Mengapa kita tidak coba berpikir, untuk mengubah polanya? Menganalis tentang apa yang dilewati seharian? Mungkin saja, ia kelelahan dan membutuhkan sentuhan dibagian tertentu?

Melibatkan istilah penelitian dalam konteks ini, cenderung rumit untuk dimaknai. Saya sebenarnya mengharapkan banyak naskah-naskah penelitian tentang orangtua itu sendiri. Mungkin bisa mengkaji lebih dalam tentang sejauh mana orangtua dikatakan mampu bersabar, strategi apa yang dilakukan orangtua dalam kondisi tertentu dengan anak, dan hal lain sebagainya. Riset ini menjadikan orangtua sebagai objek utamanya, dan akan mengulas lebih banyak tentang itu.

Memang, sepintas dari pandangan riset, mungkin lebih besar keterbatasannya. Keterbatasan akses dengan orangtua, keterbatasan waktu yang mungkin membutuhkan waktu yang panjang, dan keterbatasan lain.

Semoga saja, banyak peneliti di masa depan yang mulai memperhatikan hal ini.

About the author

Reza Noprial Lubis
Bercita besar, memulai yang kecil, bergerak cepat.

Posting Komentar